Jejak yang tertinggal

 pagi itu, udara desa masih sejuk, ditemani kabut tipis yang menggantung di atas sawah. dara berdiri di tepi jalan setapak yang berdebu, menatap lurus ke arah yang sama seperti hari-hari sebelumnya. jalan itu bukan sekadar jalur biasa, tapi saksi bisu dari kenangan yang sulit dia lupakan—kenangan tentang kay.

kay adalah sahabat masa kecil dara. mereka tumbuh bersama, berlarian di antara ilalang, tertawa di bawah matahari, dan berbagi mimpi di bawah langit malam. tapi semuanya berubah saat kay memutuskan pergi ke kota, mengejar mimpi yang katanya terlalu besar untuk desa kecil mereka.

“gue bakal balik, ra. tungguin gue, ya,” itu janji terakhir arga sebelum naik ke bus tua yang perlahan menghilang di tikungan. sejak saat itu, dara menunggu.

bulan berganti tahun. surat-surat arga yang dulu rutin datang perlahan berhenti. dara tetap berdiri di tempat yang sama, berharap ada jejak kay yang kembali. meski tak ada kabar, hatinya menolak percaya bahwa arga benar-benar melupakan semua kenangan mereka.
suatu pagi, ketika dara hendak keluar rumah, dia menemukan selembar kertas lusuh tergeletak di depan pintu. kertas itu tampak usang, sudut-sudutnya kusut, tapi tulisan pudar di atasnya langsung dikenali dara.

"maaf gue nggak bisa pulang, ra. tapi lo selalu ada di hati gue. jejak kita nggak bakal hilang meski waktu jalan terus."

dara menatap kertas itu lama, jemarinya gemetar saat meraba tulisan yang nyaris hilang. air mata jatuh tanpa bisa ditahan. bukan karena sedih, tapi karena akhirnya dia sadar—nggak semua jejak harus terlihat jelas untuk tetap ada.

beberapa jejak tertinggal di hati, terukir dalam kenangan, abadi meski tak tersentuh. dan kay, tetap hidup di setiap sudut ingatan dara, dalam setiap senyum, tawa, dan tatapan kosong ke arah jalan setapak yang penuh kenangan itu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Winter aespa

Lee jeno